Membuang makanan layak konsumsi tidak hanya lekat dengan isu ekonomi dan kemanusiaan. Faktanya, sampah makanan adalah salah satu aspek yang memperburuk pemanasan global.
Dilansir dari WWF, diperkirakan sepertiga dari semua makanan yang diproduksi di dunia terbuang sia-sia. Ini setara dengan kurang lebih 1,3 miliar ton buah-buahan, sayuran, daging, susu, makanan laut, dan biji-bijian yang tidak pernah meninggalkan lahan pertanian, hilang atau rusak selama distribusi, atau dibuang di hotel, toko bahan makanan, restoran, dan rumah tangga.
Simak juga: Ada Lebih Banyak Spesies Pohon dari yang Diperkirakan, tetapi Mayoritas Tumbuh di Hutan yang Rusak
Saat kita membuang makanan, kita juga membuang semua energi dan air yang dibutuhkan untuk menanam, memanen, mengemas, dan mendistribusikannya. Di sisi lain, makanan yang membusuk di tempat pembuangan sampah akan menghasilkan gas metana dan jejak karbon yang tidak sedikit.
Sekitar 7% emisi gas rumah kaca di seluruh dunia berasal dari sisa makanan. Sebagai perbandingan, jika semua limbah makanan dunia dikumpulkan menjadi satu dan membentuk sebuah negara, itu akan menjadi penghasil gas rumah kaca terbesar ketiga setelah China dan AS.
Selain perkara energi dan air yang terbuang percuma, memproduksi makanan membutuhkan ruang yang tidak sedikit. Menurut analisis tahun 2013 oleh Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa (FAO), tanah yang dikhususkan untuk memproduksi makananmemiliki luas lebih besar dari negara Kanada. Bisa dibayangkan, area seluas ini yang seharusnya dapat dimanfaatkan secara penuh untuk hal lain yang lebih berguna, justru sia-sia. Belum lagi terkait degradasi kualitas tanah sebagai dampak jangka panjang dari pertanian monokultur.
Simak juga: Apa yang Kita Makan Berpotensi Menyebabkan Infeksi Virus dan Pandemi Baru di Masa Mendatang
Dibandingkan dengan penyebab perubahan iklim lainnya yang jauh lebih kompleks dan mengakar, masalah sampah makanan ini relatif mudah ditanggulangi. Sebagai contoh, Amerika Serikat telah menerapkan pembaruan label makanan yang lebih jelas. Tujuannya untuk mengurangi kemungkinan masyarakat membuang makanan layak konsumsi hanya karena telah melewati periode “baik dikonsumsi sebelum” yang biasa tercantum di label makanan.
Seperti yang dijelaskan di laman University of California, produsen di AS didorong untuk menerapkan standar baru label makanan yang hanya terdiri dari dua kategori: “Terbaik jika Digunakan Oleh/Best if Used By” (tanda kualitas yang ditentukan oleh pabrikan), dan “Gunakan Oleh/Used by” (tanda keamanan, hanya digunakan untuk makanan yang sangat mudah rusak). Jika menyimpan makanan melewati tanggal “Terbaik jika Digunakan”, kita bisa mempertimbangkan kelayakannya dengan cara mengendus, menyentuh, memeriksa secara visual, atau bahkan mencicipinya sendiri. Setelah itu, barulah kita dapat menentukan apakah makanan itu sebaiknya dibuang atau masih bisa dikonsumsi.
Di samping mengandalkan informasi di label makanan, terdapat beberapa tips lain yang bisa kita lakukan. Buat perencanaan terlebih dahulu sebelum berbelanja bahan makanan atau makanan siap saji. Meski terkesan sederhana, namun ini dapat meminimalkan kemungkinan “lapar mata” sekaligus memastikan kita hanya membeli yang kita butuhkan. Selain itu, memasukkan ke lemari pendingin dan mengolah bahan makanan yang ada menjadi kue atau camilan kering juga dapat memperpanjang usia makanan tanpa mengurangi rasanya.
Simak juga: Mengapa Memakan Makanan Sisa Manusia Dapat Membahayakan Kesehatan Anjing?
Penulis : Hilaria Arum
Editor : Bolu Bubu
💖
Bolu Bubu adalah startup digital media yang mempublikasikan video menginspirasi, menyentuh dan menghibur tentang hewan peliharaan untuk menciptakan perspektif positif di masyarakat akan dunia fauna.
Klik di sini untuk subscribe channel Bolu Bubu.
Jangan lupa follow dan like Bolu Bubu di social media ya!